Kamis, 29 September 2011

Boleh Melaksanakan Sensus, Tapi…



Menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan sensus adalah penghitungan jumlah penduduk, ekonomi, dsb yang dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu tertentu, missal  sepuluh tahun, dilakukan secara serentak dan bersifat menyeluruh dalam batas wilayah suatu negara untuk kepentingan demografi negara yang bersangkutan; cacah jiwa;. Saat ini di Indonesia terdapat tiga jenis sensus yaitu Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, dan Sensus Ekonomi. Ketiganya dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali secara berurutan masing-masing pada tahun berakhiran 0, 3, dan 6. Dasar pelaksanaan kegiatan sensus di Indonesia adalah UU Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dan isinya masih belum mengalami perubahan hingga saat ini.
Terlepas dari pengertian sensus diatas, saat ini Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jendral Pajak sedang bersiap melaksanakan kegiatan Sensus Perpajakan Nasional (SPN). Sensus Pajak Nasional dilaksanakan mulai 30 September 2011 dan akan menyambangi masyarakat dari pintu ke pintu untuk mendata wajib pajak hingga akhir 2012. Dasar hukum pelaksanaan SPN diantaranya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 149/PMK.03/2011 (disini), sedangkan pedoman teknis pelaksanaannya merujuk kepada Peraturan Dirjen Pajak Per-30/PJ/2011(disini). Melalui sensus pajak diharapkan dapat terjaring banyak wajib pajak baru dan memperbaiki database wajib pajak lama. Pemerintah optimis kenaikan tax ratio bisa dicapai dengan sensus pajak seiring dengan meningkatnya kelas menengah.
Walaupun memiliki tujuan yang sangat baik, tapi patut disayangkan bahwa dalam teknis pelaksanaannya masih terdapat kelemahan. Kelemahan yang paling fatal terletak pada pedoman teknis Per-30/PJ/2011 yang didalamnya sama sekali tidak mengatur adanya keikutsertaan Badan Pusat Statistik dalam pelaksanaan SPN. Padahal, SPN merupakan salah satu kegiatan Statistik Sektoral yang juga terikat kepada UU Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik (disini). Lebih jelasnya dalam UU tersebut pada pada Pasal 12 Ayat (3) dinyatakan bahwa “Statistik sektoral harus diselenggarakan bersama dengan Badan apabila statistik tersebut hanya dapat diperoleh dengan cara sensus dan dengan jangkauan berskala nasional”.
Hal lain yang juga perlu menjadi pertimbangan pada UU tersebut terletak pada pasal 26 “Setiap orang berhak menolak untuk dijadikan responden, kecuali dalam penyelenggaraan statistik dasar oleh Badan”. Merujuk kepada pada Pasal 1 Poin 11 Bahwa penjelaskan yang dimaksud dengan Badan adalah Badan Pusat Statistik. Artinya selain pada kegiatan statistik yang dilaksanakan oleh BPS, masyarakat berhak menolak dijadikan responden. Hal ini memungkinkan hasil dari SPN menjadi underestimate.
 Maka secara garis besar permasalahan dalam kegiatan SPN tanpa mengikutsertakan BPS dapat dibagi menjadi dua aspek. Pertama, menyelenggarakan kegiatan statistik yang berskala nasional dan menjangkau seluruh wilayah Indonesia memungkinkan SPN tidak mengikuti kaidah-kaidah statistik yang baku, apalagi dengan waktu yang cukup panjang, sehingga hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Dan kedua, potensi nonrespon dari responden yang tidak dapat dipaksa untuk memberikan jawaban bagi petugas, sehingga hasil SPN tidak sesuai dengan yang diharapkan. Padahal sempat ada statement dari Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Fatimah Azzahra, bahwa sensus pajak melibatkan pemerintah daerah, Badan Pusat Statistik (BPS), serta aparat kepolisian (lihat disini).
Kedepan perlu menjadi pelajaran bagi semua pihak bahwa melaksanakan kegiatan statistik itu tidak semudah yang dibayangkan. Selain diperlukan adanya dasar pelaksanaan yang tepat, juga harus sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterapkan. Dan satu hal yang banyak dilupakan, sangat jarang masyarakat yang melaporkan hasil kegiatan statistik kepada BPS, seperti yang terjadi pada Kasus Sensus Wilayah. Di Wilayah Kabupaten Karimun (dan mungkin juga di wilayah lain) ditemukan adanya penempelan stiker Sensus Wilayah pada tempat-tempat usaha milik warga. Dan sama sekali tidak ada keterangan mengenai siapa penyelenggaranya. Jika sudah seperti ini, apabila terjadi sesusatu yang tidak diinginkan dengan responden, maka masyarakat bisa dipastikan akan menjadi antipati dengan BPS. Karena dari awal, penggunaan kata Sensus sudah begitu melekat dengan BPS.  Kalau Sudah begini, lalu siapa yang mau bertanggungjawab?.

Jumat, 09 September 2011

Dicari; anggota DPRD yang cerdas dan profesional !

Membaca mengenai berita pertumbuhan ekonomi Kabupaten Karimun di harian Haluan Kepri tanggal 8 September 2011 ( disini ) membuat saya geleng-geleng kepala.


Pertama, adanya penjelasan dari (yang terhormat) anggota DPRD Kab. Karimun Raja Kamarudin mengenai kenaikan angka pertumbuhan ekonomi Kabupaten Karimun yang bukan merupakan rekaan semata sebagai HASIL SURVEI PETUGAS SENSUS PENDUDUK (SP) 2010 oleh petugas Badan Pusat Statistik (BPS). Pernyataan ini membuat saya geli karena pasti bukan berasal dari hasil membaca publikasi BPS, ataupun diskusi dengan pihak BPS atau pihak lain yang berkompeten mengenai angka pertumbuhan ekonomi. Angka pertumbuhan ekonomi bukan dihasilkan dari sensus penduduk, namun berasal dari Survei Khusus Pendapatan Regional (SKPR), dengan ditunjang oleh survei-survei bidang ekonomi lainnya. Data hasil Sensus Penduduk yang dipergunakan hanya sebatas berkaitan dengan produk turunan dari angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu pendapatan per kapita.

Kedua, adanya pernyataan bahwa "Bisa dilihat bagaimana pola konsumtif masyarakat di Karimun akhir-akhir ini, terlebih setelah lebaran. Pusat-pusat perbelanjaan selalu ramai. Mana mungkin masyarakat bisa mendatangi pusat perbelanjaan jika ekonomi mereka merosot. Ini membuktikan kalau tingkat ekonomi bagus,". Saya harap nantinya pernyataan ini tidak diikuti dengan bantahan ketika pada periode yang sama BPS mengeluarkan release bahwa angka kemiskinan berkurang (saya rasa sih tidak akan protes,,). Sebab hal ini yang selalu terjadi ketika BPS mengeluarkan kedua angka tersebut. Di satu sisi ada beberapa gelintir pihak yang menerima angka pertumbuhan ekonomi yang meningkat, namun di sisi lain menolak bahwa angka kemiskinan mengalami penurunan.

Ketiga, pernyataan "pertumbuhan ekonomi masyarakat Karimun tersebut bersumber dari kemandirian masyarakat yang berhasil menggali potensi sumber daya alam yang ada di Karimun, khususnya sektor pertanian dan perikanan. Dua sektor tersebut menunjukkan hasil yang mengembirakan hingga mencapai 6,5 persen. Ini menunjukkan masyarakat Karimun sudah semakin mandiri,". perlu mendapatkan koreksi. Jika kita melihat kepada publikasi Pendapatan Regional Bruto Kabupaten Karimun tahun 2010, dapat dilihat bahwa struktur ekonomi Kabupaten Karimun ditopang oleh dua sektor utama yaitu pertanian (dalam hal ini khusus sub sektor perikanan) serta perdagangan, hotel dan restoran (dalam hal ini khususnya sub sektor perdagangan). Perkembangan sub sektor lain selain perikanan pada sektor pertanian justru tidak menunjukkan adanya perkembangan yang menggembirakan. Sementara itu sub sektor lain pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran seperti sub sektor hotel, dan sub sektor restoran juga cenderung tidak ada perubahan. Dan hal ini sudah berlangsung selama beberapa tahun ke belakang. Sementara itu, ditinjau menurut performa, sektor yang menagalami pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah sektor konstruksi.

Untuk itu ada baiknya anggota DPRD kedepan berusaha untuk lebih profesional dalam memberikan pernyataan mengenai angka-angka statistik. Ada baiknya mereka lebih banyak membaca publikasi statistik daerah yang setiap tahun dihasilkan melalui APBD, atau bertanya/berdiskusi dengan orang yang memang memahami mengenai angka-angka tersebut jadi tidak sekedar asal bunyi. Selain dapat menambah pengetahuan, hal ini juga penting mengingat fungsi pengawasan DPRD mengenai hasil-hasil pembangunan daerah. Tapi untuk Kabupaten Karimun, hal ini rasanya sulit mengingat komposisi DPRD pada periode initidak mengenal adanya oposisi dan nyaris semua fraksi membebek pada pihak yang berkuasa.