Selasa, 15 September 2009

yang tersisa dari PUT09

Menjadi pegawai BPS dituntut untuk mengetahui banyak hal, terutama bagi petugas lapangan. Mereka inilah ujung tombak yang menentukan setiap kesuksesan kegiatan BPS. Oleh karena itulah saat pergi ke lapangan, setiap petugas lapangan BPS harus selalu memasang mata dan telinga mereka baik-baik untuk memperhatikan keadaan di sekitarnya. Seperti ketika sedang berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk melaksanakan SUSENAS, seorang petugas lapangan juga harus memperhatikan ada tidaknya pabrik baru yang dilewati, atau dimana letak suatu perusahaan, karena itu mungkin akan berguna bagi mereka dalam survei lainnya. Bahkan pada hal-hal kecil seperti sawah yang baru dibuat, atau tumbuhan tebu yang ada di pinggir jalan, ingatan terhadap tempat-tempat tersebut akan menentukan lengkap tidaknya data yang dikumpulkan.
Hal ini terbukti pada saat pelaksanaan Pendataan Usaha Tani tahun 2009 (PUT09). Secara teori, pada pelaksanaan lapangan PUT09, petugas BPS sebenarnya tinggal menanyakan kepada narasumber setempat yang bisa terdiri atas pihak kelurahan, tokoh masyarakat, ataupun Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) untuk menemukan keberadaan Rumah Tangga Pertanian Padi, Jagung, Kedelai, dan Tebu (RTUT-PJKT). Tapi pada kenyataannya informasi yang didapatkan dari narasumber tersebut kadang-kadang kurang lengkap, terutama di daerah padat penduduk. Banyak aparat kelurahan yang tidak mengetahui tentang berapa dan siapa saja warganya yang mungkin termasuk ke dalam RTUT-PJKT, atau saat petugas PPL sulit untuk ditemui. Sehingga dalam melakukan pencarian RTUT-PJKT tersebut, petugas BPS harus berkeliling sendiri untuk melakukan pencarian. Dengan demikian metode pencacahan yang tadinya cacah lengkap, kadang-kadang bisa berubah menjadi Snowballing Sampling.
Salah satu responden PUT09 yang ditemukan melalui contoh ini ialah Bapak Emanuel Payo. Petugas lapangan berhasil mengidentifikasi rumah tangganya sebagai responden setelah saat sedang berkeliling dengan menggunakan motor. Ketika melihat adanya tumbuhan tebu di pinggir jalan, petugas berinisiatif untuk berhenti dan masuk ke kebun Bapak Payo. Setelah memastikan bahwa luas kebun tebu tersebut memenuhi syarat, maka petugas kemudian mendatangi rumahnya dan melakukan pendataan, padahal saat itu si petugas sedang dalam tugas untuk melaksanakan survei lainnya.
Bapak Payo yang berasal dari Flores Nusa Tenggara, telah tinggal tinggal di tempat tersebut selama puluhan tahun. Rumah tangga Bapak Payo menempati tanah seluas 4000 m2 di daerah Wonosari, Kecamatan Meral. Dari seluruh luas tanah tersebut 3000 m2 diantaranya ditanami dengan tebu, sementara sisanya merupakan lahan untuk rumah dan pekarangan. Tanah tersebut bukan milik Bapak Payo, namun beliau dipercaya untuk menempatinya tanpa membayar, bahkan telah membangun rumah diatasnya. Jenis tebu yang ditanam adalah tebu lokal yang batangnya berwarna cerah. Tebu jenis inilah yang ditanam oleh sebagian besar penduduk di wilayah Karimun.
Sebagaimana penduduk Karimun lainnya, bertani bukan merupakan mata pencarian utama bagi Bapak Payo. Oleh karena itu, tebu yang ditanam tidak memiliki jarak yang beraturan, malah lebih terkesan seperti tanaman liar. Memang sebagian besar tebu yang ditanam di Karimun tidak dirawat oleh pemiliknya. Walaupun demikian, hasilnya cukup untuk menambah pemasukan sehari-hari. Ketika tiba waktu panen, akan datang penampung yang membeli tebunya dengan harga 2000 rupiah per batang. Tebu tersebut selanjutnya akan diolah menjadi minuman dan dijual di pinggir jalan. Minuman dari air tebu cukup digemari oleh masyarakat di Karimun.
Selama ini berbagai kebutuhan pangan pokok masyarakat Karimun seperti beras, gula, dan kedelai masih di datangkan dari luar pulau. Karena letaknya yang dekat dengan Malaysia, sebagian besar malah diimpor langsung dari negara tersebut. Hanya komoditas jagung yang banyak diusahakan dan mampu mencukupi kebutuhan tingkat lokal. Selain karena struktur tanah yang memang kurang cocok untuk pertanian, kegiatan bercocok tanam komoditas padi, jagung, kedelai, dan tebu dinilai tidak menguntungkan, sehingga seringkali hanya dikerjakan sebagai sambilan.
Selama ini arah kebijakan pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Karimun memang diarahkan kepada sektor perkebunan. Namun dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap pengaruh harga di luar daerah, maka tidak ada salahnya jika pengembangan komoditas tersebut mulai dijalankan. Misalnya melalui rintisan pembukaan lahan penanaman padi di Kecamatan Kundur Barat yang telah dilaksanakan sejak akhir tahun 2008 lalu.