Minggu, 01 April 2007

Tulisan Pertama di Karimun


Kabupaten Karimun merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Riau melalui Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999. Posisinya terletak di antara 0o 35’ Lintang Utara sampai dengan 1o 10’ Lintang Utara dan 103o 30’ Bujur Timur sampai dengan 104o Bujur Timur, terdiri atas daratan dan perairan, yang secara keseluruhan kurang lebih seluas 7.984 km2. Kabupaten Karimun merupakan sebuah kabupaten kepulauan yang terdiri dari pulau besar dan kecil dengan jumlah sekitar 251 buah pulau, dimana semua pulau sudah bernama dan sebanyak 55 pulau telah berpenghuni. Dua pulau terbesar di wilayah ini menjadi sentra berbagai kegiatan ekonomi masyarakat dan juga pemukiman penduduk, yaitu Pulau Karimun dan Pulau Kundur.
Wilayah Kabupaten Karimun berada di antara Kota Batam, Singapura, Malaysia, Kepulauan Riau dan Riau. Hal ini  menjadikan Karimun sebagai tempat yang sangat strategis terutama untuk berbagai kegiatan perekonomian. Tahun 2006, laju pertumbuhan ekonomi terlihat ada kenaikan hal ini disebabkan rencana SEZ yang dicanangkan sedikit mendongkrak pertumbuhan ekonomi, kenaikan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,05 persen. Pertumbuhan ekonomi masih didominasi oleh sektor pertanian, dengan kontribusi 32,50 persen terhadap total PDRB. Tingginya kontribusi tersebut sebagian besar (28,73 persen) merupakan kontribusi dari sektor perikanan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat sebagian besar wilayah Karimun merupakan perairan. Selain itu, struktur dan komposisi tanah yang berupa tanah merah dan berpasir menjadikan wilayah ini kurang cocok untuk pengembangan tanaman bahan makanan. Selama ini, pasokan terhadap bahan makanan pokok lebih banyak didatangkan dari daerah lain. Hal itu menyebabkan situasi harga bahan makanan pokok menjadi sangat tergantung kepada pengaruh musim. Suatu kondisi yang sebenarnya kurang baik bagi masyarakat.
Bisa jadi hal inilah yang mendasari kurangnya perhatian pemerintah daerah setempat terhadap pengembangan pertanian tanaman pangan, terutama bahan makanan pokok serta hortikultura. Kurangnya perhatian ini dibuktikan dengan tidak adanya respon pemerintah daerah terhadap pelaksanaan Survei Pertanian (SP) tahun 2007. Pelaksanaan Survei pertanian tahun 2007 di Kabupaten Karimun tidak berjalan dengan lancar, padahal hasil dari survei ini sangat penting untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan di sektor pertanian, khususnya sub sektor tanaman pangan.
Sampai dengan tahun 2006, sebenarnya pelaksanaan SP di Kabupaten Karimun masih berjalan dengan lancar. Sampai kemudian terjadi tumpang tindih tanggung jawab pembayaran honor petugas PPL tahun 2006 antara pemerintah daerah dengan Dinas Pertanian Provinsi Kepri. Tidak jelas dibebankan kemana pembayaran honor tersebut. Informasi yang didapatkan dari PPL menyebutkan bahwa pembayaran honor tersebut pada tahun-tahun sebelumnya dibebankan kepada APBD. Akan tetapi ketika ditanyakan kepada Dinas Pertanian Provinsi Kepri, dijawab bahwa sebetulnya sudah ada honor untuk PPL tersebut yang dialokasikan oleh pusat. Petugas PPL yang merasa tidak mendapatkan haknya kemudian menolak untuk mengerjakan SP tahun 2007 dan mengembalikan dokumen SP yang dibagikan oleh Dinas Pertanian Kabupaten.
Pada awal tahun 2007, telah dilakukan kunjungan oleh Kabid Produksi ke Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Karimun untuk membahas pelaksanaan SP tahun 2007. Pada kenyataannya, tidak ada tindak lanjut oleh Dinas Pertanian dari pertemuan tersebut. Sebagai konsekuensi dari otonomi daerah, Dinas Pertanian Provinsi Kepri tidak dapat memaksa Kabupaten untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Bahkan unsur pimpinan Dinas Pertanian Kabupaten Karimun sendiri terkesan tidak mengetahui dasar hukum mengenai pelaksanaan SP tersebut. Hal ini sudah dilaporkan oleh BPS Kabupaten Karimun baik ke BPS Provinsi Kepri maupun Dinas Pertanian Provinsi Kepri. Sampai dengan saat ini, dari sembilan kecamatan yang ada, laporan SP yang masuk ke BPS Kabupaten Karimun tahun 2007 hanya berasal dari satu kecamatan saja.
Penulis sadar bahwa sebagai orang baru yang menangani survei ini tentunya banyak fakta dan informasi mengenai pelaksanaan SP yang belum penulis pahami. Paparan diatas merupakan hasil diskusi dan pengalaman lapangan yang didapat selama tahun 2007. Permasalahan semacam ini bisa jadi dialami juga oleh wilayah lainnya, dan tidak setiap penanggung jawab kegiatan ini memiliki kemampuan yang sama dalam menanganinya. Akan tetapi mengingat betapa pentingnya pelaksanaan SP ini, maka diharapkan ada tindak lanjut dari BPS dan Departemen Pertanian. Sebab jika dibiarkan secara terus menerus maka hal ini dapat menghambat perencanaan pembangunan bidang pertanian terutama sub sektor tanaman pangan di Kabupaten Karimun khususnya dan Provinsi Kepulauan Riau pada umumnya. Mungkin ada baiknya pimpinan serta petugas BPS dan Dinas pertanian di daerah dikumpulkan bersama dan diberikan pelatihan atau pengarahan lebih lanjut. Apalagi kedepan kabarnya terdapat wacana untuk mengurangi area kerja PPL di Kabupaten Karimun dari kecamatan menjadi level desa. Tentunya hal ini akan menjadikan tanggungjawab atas pengelolaan data pertanian tingkat kecamatan di masa mendatang bisa menjadi semakin tidak jelas.