Senin, 15 September 2008

MIRIP PERTAMINA

Demikian kata delapan dari sepuluh orang kenalan di luar BPS mengenai BPS. Tentu saja mereka bukan bermaksud membicarakan tentang masalah pendapatan, tapi mungkin itulah kesan sebagian besar orang luar ketika melihat logo baru BPS. Saya kira demikian pula halnya pendapat sebagian besar responden sensus/survei yang diadakan BPS. Responden yang baru berurusan dengan BPS mungkin akan mengira institusi ini adalah lembaga swasta jika tidak ada lambang Garuda Pancasila dan keterangan mengenai landasan hukum yang digunakan pada halaman depan kuesioner. Namun tulisan ini sejatinya bukan bermaksud untuk memberikan kritik mengenai logo tersebut. Memang betapapun bagus dan dinamis, logo itu terasa kurang menggambarkan citra BPS sebagai salah satu lembaga negara. Tetapi yang ingin lebih ditekankan tulisan ini sebenarnya adalah pada pencitraan BPS sebagai sebuah lembaga pemerintah.
Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa BPS adalah lembaga pemerintah. Contoh kurangnya tersosialisasinya BPS di masyarakat adalah pada saat dilaksanakan sensus atau survei di daerah. Pertanyaan pertama yang biasanya dilontarkan masyarakat setelah kita jelaskan maksud kedatangan kita adalah “apa itu BPS?”. Memang dulu BPS lebih dikenal sebagai kantor sensus. Namun jika kita bahasakan bahwa survei seperti SUSENAS dan SAKERNAS adalah sensus maka mereka akan terus memberondong kita dengan pertanyaan lain. Sebab, mereka tidak akan percaya jika petugas sensus sampai menanyakan keadaan ekonomi rumah tangga sedetail-detailnya, bahkan yang bersifat sangat pribadi. Atau mengapa sensus yang dilakukan hanya kepada 10 rumah tangga saja. Kita memang harus bisa menjelaskan mengenai apa itu survei dan apa maksud diadakannya. Namun tak jarang kita harus siap-siap sedikit berdebat, karena rumah tangga dengan tingkat pendidikan yang rendah biasanya tidak mengerti, dan bagi mereka yang memiliki usaha sering memandang dengan sikap curiga. Jika selama ini orang BPS sendiri banyak yang kurang dapat menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan dengan tepat, lalu bagaimana dengan mitranya?. Banyak kegiatan lapangan yang mengalami kendala karena masalah-masalah seperti ini.
Dibentuknya Biro Humas di BPS sebenarnya merupakan kemajuan besar dalam peningkatan citra BPS di masyarakat. Namun hal itu rasanya hanya berlaku di tingkat pusat. Sampai saat ini kegiatannya pun masih terbatas, dan belum terasa gaungnya di daerah. Upaya lain yang dilakukan dengan pembangunan kantor baru BPS di daerah melalui penyeragaman kriteria tata letak dan desain bangunan juga patut diacungi jempol. Dengan demikian kedepannya kantor BPS diharapkan dapat memiliki ciri fisik khusus yang mudah dikenali dan diketahui masyarakat. Namun rasanya peningkatan citra BPS melalui pembangunan kantor yang seragam dan pembentukan biro humas saja tidak cukup. Sebab pencitraan yang paling efektif di masyarakat adalah melalui petugas BPS yang mendatangi rumah-rumah, perusahaan, maupun instansi dan badan pemerintah lainnya.
Harus kita akui dengan jujur, bahwa sulit bagi kita untuk mengidentikfikasi petugas BPS yang sedang bertugas di lapangan. Tidak ada ciri khusus yang menandakan bahwa seseorang yang kita temui adalah pegawai negeri sipil yang bertugas di BPS. Selama ini pakaian yang digunakan oleh pegawai BPS dari satu daerah ke daerah lain banyak yang berbeda. Misalnya jika di daerah Kalimantan pegawai BPS pada hari selasa mengenakan seragam HANSIP berwarna hijau, di Pusat menggunakan pakaian bebas rapi, di wilayah Kepri menggunakan baju pemda, sementara di Sumsel ada yang menggunakan seragam hitam putih seperti kantor pajak, dan banyak kabupaten/kota yang menggunakan seragam sendiri dengan warna yang bermacam-macam. Tahun lalu sempat diadakan seragam berwarna abu-abu sebagai seragam harian, namun sampai saat ini penggunaannya lebih banyak pada acara internal BPS saja karena pengaturannya kurang tegas dan mengikat. Pegawai di daerah masih bisa menggunakan seragam itu pada hari apa saja sesuai mood-nya. Lalu dimana ciri khas kita sebagai satu lembaga?.
Jika dalam satu propinsi saja ada kabupaten yang menggunakan badge, dan banyak yang tidak. Ada yang memakai papan nama dan lencana korpri sedangkan yang lainnya cukup dengan memakai pin BPS di kerah, lalu dimana letak rasa kebersamaan korpsnya?. Padahal dalam kesehariannya petugas BPS lebih banyak berhadapan dengan orang perorangan. Yang pertama akan dinilai dan dapat dilihat dari jauh adalah penampilan petugasnya. Tentu harus ada kode etik berpakaian yang tidak sekedar layak dan rapi, tapi juga berwibawa dan mudah dikenali. Di tingkat daerah sendiri, sampai saat ini rasanya hanya BPS dan Departemen Agama, instansi vertikal yang seragamnya masih mengekor dengan pemda. Padahal kita tidak dibawah mereka dan tidak juga menerima apa-apa dari mereka kecuali kerjasama. Sedangkan pegawai instansi vertikal lainnya, antar bagian saja dapat dikenali dari jenis seragam yang digunakan. Mengapa saat sudah berada dalam dunia kerja, kita masih belum punya identitas yang jelas, sementara mereka yang kuliah di STIS diwajibkan untuk memakai seragam dengan baik dan benar berikut sejumlah sanksi bagi pelanggarannya. Lalu dimana letak relevansi kewajiban menggunakan seragam ketika kuliah dulu dengan saat sudah bekerja?.
Seorang KSK di lapangan harus dapat dibedakan dengan pegawai pemda lainnya. Karena ketika KSK duduk di kedai kopi pada jam dinas, bisa jadi mereka istirahat sebentar setelah berkeliling survei, sedangkan pegawai pemda patut dipertanyakan motifnya. Jadi pegawai BPS tidak perlu ikut kabur ketika ada razia pegawai oleh satpol PP karena mereka yang dilapangan tentunya sedang menjalankan tugas, walaupun tanpa membawa surat tugas. Penggunaan seragam juga diharapkan dapat mempermudah ketika kita masuk ke areal industri atau kawasan khusus lain yang selama ini sulit ditembus jika tidak menggunakan kendaraan plat merah. Sedangkan pemilik usaha yang didatangi pegawai BPS seharusnya tidak perlu antipati terlebih dahulu karena mereka mengenali petugas yang datang adalah sekedar meminta data, bukan retribusi atau pajak daerah. Jadi tanpa bertanya-pun masyarakat sudah dapat mengenali bahwa petugas dengan seragam yang demikian ini datang untuk melakukan pendataan. Bukan masalah siapa orang yang datang, tapi dari instansi mana orang itu datang. Jadi siapapun pegawai BPS bisa saling mengisi tugas lapangan, tanpa harus ada dominasi orang perorang karena faktor kenalan. Jangan karena responden kenal dengan petugas, baru mau membantu BPS, tapi harus sebaliknya.
Dalam jangka panjang pegawai BPS harus dapat dikenali ketika bertugas dilapangan, karena hal itu sangat berhubungan dengan kewibawaan institusi yang menaunginya. Jika masyarakat tidak mengenal BPS, maka bagaimana mereka mau membantu petugasnya. Padahal selama ini kita hanya dapat mengharapkan kesediaan dan kesadaran responden untuk memberikan keterangan yang dibutuhkan, karena pada kenyataannya UU yang kita miliki tidak bergigi ketika menemui responden yang “sulit”. Dalam keadaan tersebut penggunaan pakaian seragam dapat sedikit membantu, mengingat dengan mengenakannya, maka pada pegawai yang bersangkutan turut pula melekat otritas dan kewenangan dalam menjalankan tugas. Jangan sampai pegawai BPS sudah pekerjaannya berat, penghasilannya minim, masih juga dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan institusi lainnya. Istilahnya sudah low profit, masih harus low profile juga.
Tidak berlebihan kiranya jika sebagai sebuah institusi pemerintah, BPS memiliki pakaian dinas sendiri. Tidak perlu atribut yang rumit seperti tanda pangkat atau lencana-lencana, cukup sebuah seragam yang memiliki warna khas dengan logo BPS di lengan kiri. Seragam yang sama antara pejabat dengan staf biasa, antara KSK di kecamatan dengan kepala BPS di Jakarta, antara pegawai di Sabang dengan Merauke. Cukup dikenakan pada jam dinas saja, atau pada waktu kita berdinas, sehingga kita lebih mudah untuk saling mengenali dan menyapa dengan sesama pegawai BPS bahkan jika kita berada di daerah lain. Seorang pegawai yang dikenali dari seragamnya merupakan sebuah alat sosialisasi berjalan yang jangkauannya sangat luas. Dan yang pasti, ini menunjukkan bahwa kita memang berasal dari satu institusi.
 Gagasan ini pastinya bukan sebuah hal baru, yang entah karena apa tidak kunjung terealisasi juga. Alasan yang paling masuk akal biasanya soal anggaran, tapi jika ada kemauan, hal itu pasti bisa diatasi. Atau mungkin juga karena pegawai BPS banyak yang sudah nyaman dengan situasi yang sekarang. Karena BPS sering bekerja tidak mengenal waktu, siang malam maupun hari libur, sehingga penggunaan seragam dinas akan dirasakan sebagai sebuah pembatasan. Atau bisa jadi banyak yang merasa lebih nyaman untuk keluar kantor pada jam kerja dengan menggunakan pakaian yang sekarang, karena orang tidak akan mengenali dari mana asal mereka. Bukankah jika seorang pegawai diidentifikasi asal instansinya, berarti akan lebih mudah pula dilakukan kontrol. Tidak hanya oleh pimpinan yang bersangkutan, tetapi juga oleh masyarakat. Apapun alasannya, bagi pegawai yang sehari-hari berkutat di dalam kantor, ide ini mungkin terdengar kurang menyenangkan. Tapi percayalah, bagi kami pegawai di lapangan, penggunaan seragam yang khas BPS akan sangat membantu ketika berhadapan dengan responden. Terakhir, kita semua sepakat bahwa kedepannya BPS harus dapat lebih dikenal luas oleh masyarakat. Untuk itu, hal pertama yang harus kita temukan adalah identitas kita.