Selasa, 10 April 2012

Masalah Data Berkualitas Dari Sudut Pandang Petugas Lapangan

Bagian dari makalah yang disiapkan untuk bahan Rapat Teknis Daerah Pimpinan BPS tahun 2012,,


1.1      Faktor Geografis Wilayah
Kabupaten Karimun merupakan sebuah wilayah kepulauan yang terdiri dari 249 buah pulau, dimana yang berpenghuni hanya sebanyak 54 pulau. Dua pulau terbesar menjadi sentra berbagai kegiatan ekonomi masyarakat dan juga pemukiman penduduk, yaitu Pulau Karimun dan Pulau Kundur. Berdasarkan hasil SP 2010, 52 persen penduduk Karimun tinggal di Pulau Karimun, 26 persen tinggal di pulau Kundur, sementara sisanya menyebar di pulau lainnya. Sementara jika ditinjau menurut potensi ekonomi, 54 persen usaha berada di pulau Karimun, 36 persen di Pulau Kundur, sementara sisanya menyebar di pulau lainnya. Dengan karakteristik seperti ini, kesulitan dalam pendataan di wilayah pulau yang jaraknya jauh akan selalu terulang, dan pasti memerlukan biaya besar.
Saat ini jumlah pegawai di BPS Karimun berjumlah 19 orang, terdiri dari Staf yang bertugas di Kantor sebanyak 10 orang, dan KSK sebanyak 9 orang. Masing-masing kecamatan telah terisi oleh KSK, namun jumlah staf di yang bertugas di kantor masih sangat kurang. Saat ini selain sub-bagian TU yang memiliki 3 orang staf termasuk Kasub-bag, seksi teknis hanya ditangani oleh masing-masing satu orang staf. Akibatnya, kinerja staf bidang teknis menjadi terbatas pada pengelolaan administrasi kegiatan, dan belum mampu memback-up kegiatan KSK di lapangan.
Alasan lainnya adalah transportasi antara kantor dengan kecamatan yang berada di luar pulau Karimun, serta antar kecamatan yang berbeda pulau masih terbatas. Sebagian besar pekerjaan antar wilayah masih belum memungkinkan untuk dikerjakan dalam satu hari secara pulang pergi. Hal ini menyebabkan pembagian beban tugas tidak dapat dilakukan secara merata sehingga otoritas kerja masih bersifat kewilayahan. Pada kecamatan tertentu yang padat penduduk dan merupakan sentra ekonomi beban kerja sangat padat, sementara untuk kecamatan lain yang tidak berpotensi pekerjaan menjadi kosong. Sementara tantangan kedepan mengenai jabatan fungsional dan remunerasi menuntut adanya pembagian beban kerja yang seimbang antar pegawai. 
      
1.2      Faktor Kemampuan Petugas
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, lebih dari 73 persen penduduk Kabupaten karimun memiliki pendidikan SMP kebawah. Sementara pada etnis tertentu seperti cina, jumlahnya lebih besar lagi, mencapai 83 persen. Hal ini tentu sangat menyulitkan petugas dalam menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan pendataan. Jika maksud dan tujuan ini tidak dapat tersampaikan dengan baik, maka responden kemudian cenderung untuk menolak atau memberikan jawaban yang tidak tepat.
Perlu disadari bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh BPS belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat Kabupaten Karimun. Pertanyaan pertama yang sering dilontarkan oleh responden biasanya adalah asal instansi petugas. Dalam hal ini, jika kita menjawab BPS, maka banyak responden yang tidak mengetahuinya. Hal ini biasanya disikapi petugas dengan memperkenalkan BPS sebagai kantor sensus. Namun hal inipun tidak serta merta membuat responden puas. Akan datang pertanyaan lanjutan seperti “mengapa sensus dilakukan setiap tahun?”, atau jika sedang melaksanakan survei, pertanyaannya berubah menjadi “mengapa sensus hanya mendata sebagian rumah/usaha saja?”.
Pertanyaan semacam inilah yang sering membuat petugas kerepotan. Belum lagi jika ditanyakan mengenai maksud diadakannya survei. Dalam pelaksanaan Sakernas misalnya, petugas sering menjelaskan bahwa survei dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pengangguran. Yang sering terjadi adalah ketika kebetulan petugas mendata ART yang pengangguran, maka ketika petugas datang untuk yang kedua atau ketiga kalinya (panel) ke RT tersebut, responden menjadi apatis karena tidak ada hasil pendataan tersebut (pekerjaan) yang dirasakan secara langsung oleh si pengangguran. Jika tidak berhasil meyakinkan responden, petugas seringkali harus mendata dari luar pagar, atau bahkan ditolak.
Sama halnya dengan kegiatan sakernas, pendataan terhadap kegiatan usaha juga selalu menemui kesulitan dalam menjelaskan maksud kegiatan survei. Hal ini terjadi terutama ketika petugas harus melakukan pendataan terhadap usaha kecil dan menengah dan kegiatan yang sifatnya rutin. Kesulitan terjadi ketika dalam banyak kasus, kegiatan pendataan yang dilakukan oleh pihak lain seperti pemerintah daerah selalu mendatangkan hasil yang nyata bagi responden. Misalnya bantuan modal, pemasaran, maupun peralatan. Sementara itu survei yang dilaksanakan BPS justru dirasakan tidak pernah dapat memberikan kontribusi apapun. Dalam jangka panjang, hal ini dapat membuat responden merasa jengah, dan bahkan malas untuk melayani petugas.
Dari sisi petugas sendiri sebenarnya pada awal mereka terjun melakukan pendataan pasti sudah berusaha untuk memberikan penjelasan yang memadai. Misalnya apa itu BPS, apa tujuan survei, serta alasan bahwa dengan memberikan jawaban atas survei BPS, reponden telah membantu pemerintah dalam kegiatan evaluasi dan perencanaan pembangunan. Namun mindset yang telah tertanam dalam diri sebagian besar masyarakat Kabupaten Karimun bahwa pendataan sangat erat kaitannya dengan pemberian bantuan membuat petugas BPS tidak mampu menjawab lebih lanjut.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petugas BPS tidak merasa bahwa mereka serta merta diterima oleh responden, sebagaimana seharusnya aparat pemerintah terhadap masyarakat. Petugas kemudian memilih untuk mencari aman dengan memberikan penjelasan seadanya, atau cara lainnya asalkan responden mau menjawab, terutama jika survei tersebut harus diselesaikan dalam waktu yang singkat. Misalnya dengan menjawab bahwa pendataan berasal dari instansi lain, bertanya secara tidak lengkap, atau bahkan secara sembunyi-sembunyi (tanpa membawa blanko pencacahan). Hal inilah sering terjadi dan menjadi beban tersendiri bagi petugas, terutama KSK.
Beban terbesar berada di pundak KSK karena sebagian besar dari mereka harus melaksanakan pendataan secara rutin dan dipaksa untuk dapat berhasil. Melakukan cara-cara aman sebagaimana telah disebutkan diatas mungkin bisa berhasil jika pendataan hanya dilakukan satu kali. Tapi dalam jangka panjang, hal ini justru semakin mempersulit petugas. Maka tidak heran jika untuk pendataan yang bersifat rutin, KSK seringkali mengambil sampel RT atau usaha yang dikenalnya secara pribadi, atau meminta bantuan orang yang sudah kenal baik dengan RT/usaha tsb.
 Disinilah terjadi situasi yang kurang sehat. Ketika pendataan bisa berhasil karena petugas kenal baik dengan respondennya, maka dapat terjadi monopoli tugas. Akibatnya ketika karena satu dan lain hal terjadi pergantian petugas yang mendata di tempat tersebut, petugas yang baru menjadi kesulitan karena harus mulai dari nol. Untuk itu yang perlu menjadi perhatian pimpinan BPS adalah bagaimana seorang petugas dapat diterima oleh responden bukan karena dia mengenal respondennya secara pribadi, tapi karena dia merupakan aparatur pemerintah.

1.3          Faktor Beban Tugas
Hal yang telah sering dikeluhkan oleh petugas BPS di lapangan adalah jadwal yang tidak sinkron dan terlalu ketat. Sedianya, jadwal kegiatan selama satu tahun untuk setiap satuan kerja BPS sudah ditetapkan oleh BPS pusat. Jadwal yang telah disusun tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh BPS Kabupaten/Kota untuk disesuaikan dengan kondisi setempat terkait dengan pengaturan beban kerja setiap petugas. Jadwal kerja yang baik semestinya dapat mengatur sinkronisasi antar waktu pelaksanaan satu kegiatan dengan kegiatan lainnya, serta tidak menimbulkan inefisiensi.
Contoh inefisiensi kegiatan yang sering terjadi adalah satu RT/usaha harus dicacah dua kali atau lebih oleh jenis kegiatan yang berbeda. Pendataan hotel tahunan pada suatu perusahaan yang ditangani oleh seksi distribusi misalnya, juga didata oleh seksi Nerwilis untuk keperluan SKPR, bahkan juga didatangi oleh seksi produksi untuk keperluan survei captive power. Responden yang didatangi oleh tiga petugas dan diminta untuk memberikan data yang berbeda pada tiga daftar isian yang juga berbeda tentu akan merasa kesal. Apalagi jika hal ini terjadi secara terus-menerus, sehingga mengakibatkan terbuangnya waktu dan biaya, tidak hanya bagi pengusaha, tapi juga bagi petugas BPS itu sendiri. Akan lebih baik jika terdapat koordinasi kegiatan di BPS pusat.
Sementara itu, jadwal kerja yang telah dirancang untuk satu tahun kalender seringkali menjadi kacau akibat adanya kegiatan yang bersifat ad hoc dan mendadak. Sementara petugas dituntut untuk dapat selalu menyelesaikan kegiatan rutin secara tepat waktu untuk keperluan press release bulanan, ketika itu juga kerap kali datang perintah untuk mengikuti pelatihan dan tugas lain yang cukup menyita waktu. Belum lagi jika survei tersebut harus dapat diselesaikan dalam hitungan hari, maka jadwal yang sudah disusun menjadi berantakan. Sering terjadi kasus dimana akibat beban kerja yang dirasakan terlalu berat serta ego sektoral, suatu pekerjaan menjadi korban. Hal ini sangat mungkin untuk terjadi jika kedua pekerjaan harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan, maka petugas cenderung mengorbankan salah satunya. Atau jika dipaksa untuk harus selesai secara bersamaan, maka kualitas data yang dihasilkan menjadi korban.

1.4         Faktor Evaluasi    
Salah satu kelemahan dari kegiatan BPS adalah dalam hal evaluasi. Bukan karena evaluasi itu tidak pernah dilakukan, namun karena evaluasi yang dilakukan sering kali tidak mampu membawa perubahan. Misalnya dalam setiap kegiatan pengawasan, alih-alih melakukan koreksi terhadap pekerjaan di lapangan, pengawas seringkali harus kerepotan membantu pencacahan untuk mengejar deadline. Sementara permasalahan teknis lapangan yang ada menjadi terabaikan. Akibatnya pengawas menjadi malas untuk turun ke lapangan karena harus bekerja dua kali, mencacah dan memeriksa.
Sementara itu petugas lapangan juga kerap kali tidak segera berkoordinasi dengan pengawasnya ketika terjadi suatu pemasalahan. Akibatnya ketika petugas lapangan diingatkan untuk segera menyerahkan tugasnya kadang-kadang kurang merespon, atau malah memberikan respon yang kurang baik. Hal ini bisa terjadi akibat cara penyampaian pesan yang kurang baik, atau terdapat hambatan komunikasi dimana baik petugas maupun pengawas saling tidak memahami kondisi psikologis masing-masing. Ketegasan dalam menyikapi hal ini seringkali menimbulkan resistensi yang keras sehingga berujung konflik antar pegawai.

 
Lalu kira-kira siapa yang bisa menyelesaikannya?