Sebagaimana dimuat pada Koran Haluan Kepri Tanggal 6 Oktober 2011:disini
Lagi-lagi kritik mengenai data kemiskinan. Data mengenai tingkat kemiskinan akhir-akhir ini memang telah menjadi primadona di tengah masyarakat, terutama ditengah maraknya sorotan terhadap kinerja pemerintah. Data kemiskinan bagi pihak yang pro dengan pemerintah , jika mengalami penurunan, seringkali dijadikan sebagai pembenaran terhadap keberhasilan kinerja pemerintah. Namun bagi pihak yang beroposisi dengan pemerintah, data yang sama selalu dijadikan bulan-bulanan karena dianggap tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Hal inilah yang
dapat ditangkap dari tulisan Hestiana pada Rubrik Opini Harian Umum Haluan
Kepri, Selasa 4 Oktober 2011(disini). Isinya kembali mengulang pertanyaan mengenai
kriteria dasar penentuan kemiskinan mengenai data kemiskinan versi BPS dan
harapan agar BPS meningkatkan kinerjanya agar data yang dihasilkan semakin
kredibel. Pertanyaan ini selain menunjukkan menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap
data BPS, juga mempeliahatkan kekurangpahaman mengenai bagaimana data itu
dihasilkan. Untuk itu mari kita coba memahami dan mencerahkan pemahaman kita
mengenai data kemiskinan.
Pertama, harus
dipahami bahwa data kemiskinan di Indonesia itu banyak jenisnya. Setiap data
dihasilkan dengan konsep, metode, cara, serta untuk tujuan yang berbeda. Ada
data kemiskinan versi BPS, BKKBN, Bank Dunia, dan masih banyak lainnya. Karena
adanya perbedaan itu, maka data dari masing-masing lembaga tidak boleh
dibandingkan secara apple to apple,
karena pasti akan berbeda dan menimbulkan bias. Kedua, perlu dipahami mengenai
konsep kemiskinan yang digunakan. Setiap orang tentu memiliki pandangan
tersendiri mengenai apa dan siapa yang dapat dikategorikan miskin. BPS sendiri
dalam menyajikan data kemiskinan secara makro mempergunakan konsep internasional yang telah
diadopsi dan telah direkomendasikan oleh PBB supaya bisa dilakukan
keterbandingan kemiskinan antar negara.
Konsep ini
sudah sangat sederhana, yaitu kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari
sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang
diukur dari sisi pengeluaran dan bukan nya penghasilan. Penduduk miskin adalah
mereka yang memiliki pengeluaran dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan
makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan
dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari; sedangkan garis kemiskinan
non-makanan merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan
dan kesehatan. Maka untuk dapat mempergunakan data BPS, kita harus menyetujui
konsep ini terlebih dahulu.
Mengapa
bukan penghasilan? Karena untuk mendapatkan data ini amatlah sulit dan
cenderung bias. Berapa banyak orang yang mau jujur mengenai pendapatannya? yang
terjadi adalah responden akan ketakutan dengan pajak, pungutan, dsb. Persoalan
berikutnya mengapa garis kemiskinan hanya Rp 233.740 per orang per bulan
atau Rp 7.791 per hari? Apakah ini masuk akal ditengah harga-harga yang semakin
melambung?. Disinilah pentingnya memahami konsep pengeluaran, karena berbeda
dengan penghasilan yang biasanya dihasilkan oleh satu kepala
keluarga, tetapi dikeluarkan kepada seluruh anggota keluarganya. Pengeluaran
dihitung secara mandiri untuk kebutuhan setiap orang dalam rumah tangga.
Dengan
demikian, jika satu keluarga beranggotakan empat orang, maka keluarga yang
dianggap miskin adalah keluarga yang hanya berpengeluaran di bawah empat kali
garis kemiskinan yaitu Rp. 934.960/keluarga per bulan atau setara dengan Rp
31.165/keluarga/hari . Lebih jauh lagi, nilai Rp. 934.960 akan sesuai
dengan rata-rata batas upah minimum di Indonesia, bahkan lebih tinggi dari upah
minimum beberapa provinsi di Indonesia (baca juga ini). Dan garis pengeluaran ini selalu
diperbarui setiap saat pendataan untuk menyesuaian dengan inflasi yang terjadi.
Lalu mengapa data jumlah penduduk miskin
BPS berbeda dengan Bank Dunia?.
Perbedaan
terjadi karena adanya standar paritas daya beli yang digunakan oleh setiap
negara. Sesungguhnya bank dunia dan lembaga-lembaga lainnya tidak pernah
melakukan pendataan kemiskinan dalam skala besar di Indonesia seperti yang
dilakukan BPS. Dengan konsep dan data yang sama dari BPS, Bank Dunia hanya menggunakan
standar garis kemiskinan yang lebih besar supaya untuk mendapatkan
keterbandingan dengan negara lainnya. Untuk itulah perbedaan data harus
disikapi secara bijak sebagai suatu kekayaan pilihan, dan bukannya
dipolitisasi.
Dengan melihat
angka-angka di atas, nampak jelas bahwa GK yang digunakan oleh BPS sangat
rasional dan telah sesuai dengan realitas kondisi ekonomi penduduk Indonesia
saat ini. Kita tidak bisa membantah sesuatu yang dihasilkan melalui suatu
metodologi yang didesain secara ilmiah untuk mewikili populasi, yakni seluruh
penduduk Indonesia yang tersebar di 33 provinsi baik itu di perdesaan maupun
perkotaan, dengan menggunakan penarikan kesimpulan secara parsial, yakni
berdasarkan apa yang kita saksikan di kanan-kiri lingkungan tempat tinggal kita
yang kemudian kita anggap
sebagai realitas populasi.
Anda yang
tinggal di perkotaan mungkin tidak tahu bahwa data statistik hasil sensus
penduduk menunjukkan sekitar sebagian
besar penduduk Indonesia hidup di daerah
perdesaan. Jika anda menginginkan data secara real, dari sisi mikro data
penduduk miskin BPS saat ini telah tersedia berdasarkan nama dan alamat. BPS
saat ini masih terus berusaha untuk meningkatkan kualitas data yang dihasilkan.
Dan untuk menghindari kesalahan dalam mempergunakan data statistik, anda
sebagai pengguna data bisa datang ke Kantor BPS kabupaten/kota terdekat untuk
mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap, gratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
bermanfaat? mohon tinggalkan jejak..