Bagian dari makalah yang disiapkan untuk bahan Rapat Teknis Daerah Pimpinan BPS tahun 2012,,
1.1
Faktor
Geografis Wilayah
Kabupaten
Karimun merupakan sebuah wilayah kepulauan yang terdiri dari 249 buah pulau,
dimana yang berpenghuni hanya sebanyak 54 pulau. Dua pulau terbesar menjadi
sentra berbagai kegiatan ekonomi masyarakat dan juga pemukiman penduduk, yaitu Pulau
Karimun dan Pulau Kundur. Berdasarkan hasil SP 2010, 52 persen penduduk Karimun
tinggal di Pulau Karimun, 26 persen tinggal di pulau Kundur, sementara sisanya
menyebar di pulau lainnya. Sementara jika ditinjau menurut potensi ekonomi, 54
persen usaha berada di pulau Karimun, 36 persen di Pulau Kundur, sementara
sisanya menyebar di pulau lainnya. Dengan karakteristik seperti ini, kesulitan
dalam pendataan di wilayah pulau yang jaraknya jauh akan selalu terulang, dan
pasti memerlukan biaya besar.
Saat
ini jumlah pegawai di BPS Karimun berjumlah 19 orang, terdiri dari Staf yang
bertugas di Kantor sebanyak 10 orang, dan KSK sebanyak 9 orang. Masing-masing
kecamatan telah terisi oleh KSK, namun jumlah staf di yang bertugas di kantor
masih sangat kurang. Saat ini selain sub-bagian TU yang memiliki 3 orang staf
termasuk Kasub-bag, seksi teknis hanya ditangani oleh masing-masing satu orang
staf. Akibatnya, kinerja staf bidang teknis menjadi terbatas pada pengelolaan
administrasi kegiatan, dan belum mampu memback-up kegiatan KSK di lapangan.
Alasan
lainnya adalah transportasi antara kantor dengan kecamatan yang berada di luar
pulau Karimun, serta antar kecamatan yang berbeda pulau masih terbatas. Sebagian
besar pekerjaan antar wilayah masih belum memungkinkan untuk dikerjakan dalam
satu hari secara pulang pergi. Hal ini menyebabkan pembagian beban tugas tidak
dapat dilakukan secara merata sehingga otoritas kerja masih bersifat kewilayahan.
Pada kecamatan tertentu yang padat penduduk dan merupakan sentra ekonomi beban
kerja sangat padat, sementara untuk kecamatan lain yang tidak berpotensi
pekerjaan menjadi kosong. Sementara tantangan kedepan mengenai jabatan
fungsional dan remunerasi menuntut adanya pembagian beban kerja yang seimbang
antar pegawai.
1.2
Faktor
Kemampuan Petugas
Berdasarkan
hasil Sensus Penduduk 2010, lebih dari 73 persen penduduk Kabupaten karimun
memiliki pendidikan SMP kebawah. Sementara pada etnis tertentu seperti cina,
jumlahnya lebih besar lagi, mencapai 83 persen. Hal ini tentu sangat
menyulitkan petugas dalam menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan pendataan.
Jika maksud dan tujuan ini tidak dapat tersampaikan dengan baik, maka responden
kemudian cenderung untuk menolak atau memberikan jawaban yang tidak tepat.
Perlu
disadari bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh BPS belum sepenuhnya dapat
diterima oleh masyarakat Kabupaten Karimun. Pertanyaan pertama yang sering
dilontarkan oleh responden biasanya adalah asal instansi petugas. Dalam hal
ini, jika kita menjawab BPS, maka banyak responden yang tidak mengetahuinya.
Hal ini biasanya disikapi petugas dengan memperkenalkan BPS sebagai kantor
sensus. Namun hal inipun tidak serta merta membuat responden puas. Akan datang pertanyaan
lanjutan seperti “mengapa sensus dilakukan setiap tahun?”, atau jika sedang
melaksanakan survei, pertanyaannya berubah menjadi “mengapa sensus hanya
mendata sebagian rumah/usaha saja?”.
Pertanyaan
semacam inilah yang sering membuat petugas kerepotan. Belum lagi jika
ditanyakan mengenai maksud diadakannya survei. Dalam pelaksanaan Sakernas
misalnya, petugas sering menjelaskan bahwa survei dimaksudkan untuk mengetahui
jumlah pengangguran. Yang sering terjadi adalah ketika kebetulan petugas
mendata ART yang pengangguran, maka ketika petugas datang untuk yang kedua atau
ketiga kalinya (panel) ke RT tersebut, responden menjadi apatis karena tidak
ada hasil pendataan tersebut (pekerjaan) yang dirasakan secara langsung oleh si
pengangguran. Jika tidak berhasil meyakinkan responden, petugas seringkali
harus mendata dari luar pagar, atau bahkan ditolak.
Sama
halnya dengan kegiatan sakernas, pendataan terhadap kegiatan usaha juga selalu
menemui kesulitan dalam menjelaskan maksud kegiatan survei. Hal ini terjadi
terutama ketika petugas harus melakukan pendataan terhadap usaha kecil dan
menengah dan kegiatan yang sifatnya rutin. Kesulitan terjadi ketika dalam
banyak kasus, kegiatan pendataan yang dilakukan oleh pihak lain seperti
pemerintah daerah selalu mendatangkan hasil yang nyata bagi responden. Misalnya
bantuan modal, pemasaran, maupun peralatan. Sementara itu survei yang
dilaksanakan BPS justru dirasakan tidak pernah dapat memberikan kontribusi
apapun. Dalam jangka panjang, hal ini dapat membuat responden merasa jengah,
dan bahkan malas untuk melayani petugas.
Dari
sisi petugas sendiri sebenarnya pada awal mereka terjun melakukan pendataan
pasti sudah berusaha untuk memberikan penjelasan yang memadai. Misalnya apa itu
BPS, apa tujuan survei, serta alasan bahwa dengan memberikan jawaban atas
survei BPS, reponden telah membantu pemerintah dalam kegiatan evaluasi dan
perencanaan pembangunan. Namun mindset yang telah tertanam dalam diri sebagian
besar masyarakat Kabupaten Karimun bahwa pendataan sangat erat kaitannya dengan
pemberian bantuan membuat petugas BPS tidak mampu menjawab lebih lanjut.
Kenyataan
di lapangan menunjukkan bahwa petugas BPS tidak merasa bahwa mereka serta merta
diterima oleh responden, sebagaimana seharusnya aparat pemerintah terhadap
masyarakat. Petugas kemudian memilih untuk mencari aman dengan memberikan
penjelasan seadanya, atau cara lainnya asalkan responden mau menjawab, terutama
jika survei tersebut harus diselesaikan dalam waktu yang singkat. Misalnya
dengan menjawab bahwa pendataan berasal dari instansi lain, bertanya secara
tidak lengkap, atau bahkan secara sembunyi-sembunyi (tanpa membawa blanko
pencacahan). Hal inilah sering terjadi dan menjadi beban tersendiri bagi
petugas, terutama KSK.
Beban
terbesar berada di pundak KSK karena sebagian besar dari mereka harus
melaksanakan pendataan secara rutin dan dipaksa untuk dapat berhasil. Melakukan
cara-cara aman sebagaimana telah disebutkan diatas mungkin bisa berhasil jika
pendataan hanya dilakukan satu kali. Tapi dalam jangka panjang, hal ini justru
semakin mempersulit petugas. Maka tidak heran jika untuk pendataan yang
bersifat rutin, KSK seringkali mengambil sampel RT atau usaha yang dikenalnya
secara pribadi, atau meminta bantuan orang yang sudah kenal baik dengan
RT/usaha tsb.
Disinilah terjadi situasi yang kurang sehat.
Ketika pendataan bisa berhasil karena petugas kenal baik dengan respondennya,
maka dapat terjadi monopoli tugas. Akibatnya ketika karena satu dan lain hal
terjadi pergantian petugas yang mendata di tempat tersebut, petugas yang baru
menjadi kesulitan karena harus mulai dari nol. Untuk itu yang perlu menjadi
perhatian pimpinan BPS adalah bagaimana seorang petugas dapat diterima oleh
responden bukan karena dia mengenal respondennya secara pribadi, tapi karena
dia merupakan aparatur pemerintah.
1.3
Faktor
Beban Tugas
Hal
yang telah sering dikeluhkan oleh petugas BPS di lapangan adalah jadwal yang
tidak sinkron dan terlalu ketat. Sedianya, jadwal kegiatan selama satu tahun
untuk setiap satuan kerja BPS sudah ditetapkan oleh BPS pusat. Jadwal yang
telah disusun tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh BPS Kabupaten/Kota untuk
disesuaikan dengan kondisi setempat terkait dengan pengaturan beban kerja
setiap petugas. Jadwal kerja yang baik semestinya dapat mengatur sinkronisasi
antar waktu pelaksanaan satu kegiatan dengan kegiatan lainnya, serta tidak
menimbulkan inefisiensi.
Contoh
inefisiensi kegiatan yang sering terjadi adalah satu RT/usaha harus dicacah dua
kali atau lebih oleh jenis kegiatan yang berbeda. Pendataan hotel tahunan pada
suatu perusahaan yang ditangani oleh seksi distribusi misalnya, juga didata
oleh seksi Nerwilis untuk keperluan SKPR, bahkan juga didatangi oleh seksi
produksi untuk keperluan survei captive power. Responden yang didatangi oleh
tiga petugas dan diminta untuk memberikan data yang berbeda pada tiga daftar
isian yang juga berbeda tentu akan merasa kesal. Apalagi jika hal ini terjadi
secara terus-menerus, sehingga mengakibatkan terbuangnya waktu dan biaya, tidak
hanya bagi pengusaha, tapi juga bagi petugas BPS itu sendiri. Akan lebih baik
jika terdapat koordinasi kegiatan di BPS pusat.
Sementara
itu, jadwal kerja yang telah dirancang untuk satu tahun kalender seringkali
menjadi kacau akibat adanya kegiatan yang bersifat ad hoc dan mendadak.
Sementara petugas dituntut untuk dapat selalu menyelesaikan kegiatan rutin
secara tepat waktu untuk keperluan press
release bulanan, ketika itu juga kerap kali datang perintah untuk mengikuti
pelatihan dan tugas lain yang cukup menyita waktu. Belum lagi jika survei
tersebut harus dapat diselesaikan dalam hitungan hari, maka jadwal yang sudah
disusun menjadi berantakan. Sering terjadi kasus dimana akibat beban kerja yang
dirasakan terlalu berat serta ego sektoral, suatu pekerjaan menjadi korban. Hal
ini sangat mungkin untuk terjadi jika kedua pekerjaan harus diselesaikan dalam
waktu yang bersamaan, maka petugas cenderung mengorbankan salah satunya. Atau
jika dipaksa untuk harus selesai secara bersamaan, maka kualitas data yang
dihasilkan menjadi korban.
1.4
Faktor
Evaluasi
Salah
satu kelemahan dari kegiatan BPS adalah dalam hal evaluasi. Bukan karena
evaluasi itu tidak pernah dilakukan, namun karena evaluasi yang dilakukan
sering kali tidak mampu membawa perubahan. Misalnya dalam setiap kegiatan
pengawasan, alih-alih melakukan koreksi terhadap pekerjaan di lapangan,
pengawas seringkali harus kerepotan membantu pencacahan untuk mengejar deadline. Sementara permasalahan teknis
lapangan yang ada menjadi terabaikan. Akibatnya pengawas menjadi malas untuk
turun ke lapangan karena harus bekerja dua kali, mencacah dan memeriksa.
Sementara
itu petugas lapangan juga kerap kali tidak segera berkoordinasi dengan
pengawasnya ketika terjadi suatu pemasalahan. Akibatnya ketika petugas lapangan
diingatkan untuk segera menyerahkan tugasnya kadang-kadang kurang merespon,
atau malah memberikan respon yang kurang baik. Hal ini bisa terjadi akibat cara
penyampaian pesan yang kurang baik, atau terdapat hambatan komunikasi dimana
baik petugas maupun pengawas saling tidak memahami kondisi psikologis masing-masing.
Ketegasan dalam menyikapi hal ini seringkali menimbulkan resistensi yang keras
sehingga berujung konflik antar pegawai.
Lalu kira-kira siapa yang bisa menyelesaikannya?