Menurut
definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan sensus adalah penghitungan jumlah penduduk,
ekonomi, dsb yang dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu tertentu, missal
sepuluh tahun, dilakukan secara serentak
dan bersifat menyeluruh dalam batas wilayah suatu negara untuk kepentingan
demografi negara yang bersangkutan; cacah jiwa;. Saat ini di Indonesia terdapat
tiga jenis sensus yaitu Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, dan Sensus Ekonomi.
Ketiganya dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali secara berurutan masing-masing
pada tahun berakhiran 0, 3, dan 6. Dasar pelaksanaan kegiatan sensus di
Indonesia adalah UU Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dan isinya masih
belum mengalami perubahan hingga saat ini.
Terlepas dari pengertian sensus
diatas, saat ini Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jendral Pajak sedang
bersiap melaksanakan kegiatan Sensus Perpajakan Nasional (SPN). Sensus Pajak Nasional dilaksanakan
mulai 30 September 2011 dan akan menyambangi masyarakat dari pintu ke pintu
untuk mendata wajib pajak hingga akhir 2012. Dasar hukum pelaksanaan SPN diantaranya
adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 149/PMK.03/2011 (disini), sedangkan pedoman
teknis pelaksanaannya merujuk kepada Peraturan Dirjen Pajak Per-30/PJ/2011(disini). Melalui
sensus pajak diharapkan dapat terjaring banyak wajib pajak baru dan memperbaiki
database wajib
pajak lama. Pemerintah optimis kenaikan tax ratio bisa dicapai dengan sensus
pajak seiring dengan meningkatnya kelas menengah.
Walaupun
memiliki tujuan yang sangat baik, tapi patut disayangkan bahwa dalam teknis pelaksanaannya
masih terdapat kelemahan. Kelemahan yang paling fatal terletak pada pedoman
teknis Per-30/PJ/2011 yang didalamnya sama sekali tidak mengatur adanya
keikutsertaan Badan Pusat Statistik dalam pelaksanaan SPN. Padahal, SPN
merupakan salah satu kegiatan Statistik Sektoral yang juga terikat kepada UU
Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik (disini). Lebih jelasnya dalam UU tersebut pada
pada Pasal 12 Ayat (3) dinyatakan bahwa “Statistik sektoral harus diselenggarakan bersama dengan
Badan apabila statistik tersebut hanya dapat diperoleh dengan cara sensus dan
dengan jangkauan berskala nasional”.
Hal lain yang juga perlu menjadi
pertimbangan pada UU tersebut terletak pada pasal 26 “Setiap orang berhak
menolak untuk dijadikan responden, kecuali dalam penyelenggaraan statistik
dasar oleh Badan”. Merujuk kepada pada Pasal 1 Poin 11 Bahwa penjelaskan yang
dimaksud dengan Badan adalah Badan Pusat Statistik. Artinya selain pada kegiatan
statistik yang dilaksanakan oleh BPS, masyarakat berhak menolak dijadikan
responden. Hal
ini memungkinkan hasil dari SPN menjadi underestimate.
Maka secara garis besar permasalahan dalam kegiatan SPN tanpa mengikutsertakan BPS dapat dibagi menjadi dua aspek. Pertama, menyelenggarakan kegiatan statistik yang berskala nasional dan menjangkau seluruh wilayah Indonesia memungkinkan SPN tidak mengikuti kaidah-kaidah statistik yang baku, apalagi dengan waktu yang cukup panjang, sehingga hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Dan kedua, potensi nonrespon dari responden yang tidak dapat dipaksa untuk memberikan jawaban bagi petugas, sehingga hasil SPN tidak sesuai dengan yang diharapkan. Padahal sempat ada statement dari Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Fatimah Azzahra, bahwa sensus pajak melibatkan pemerintah daerah, Badan Pusat Statistik (BPS), serta aparat kepolisian (lihat disini).
Maka secara garis besar permasalahan dalam kegiatan SPN tanpa mengikutsertakan BPS dapat dibagi menjadi dua aspek. Pertama, menyelenggarakan kegiatan statistik yang berskala nasional dan menjangkau seluruh wilayah Indonesia memungkinkan SPN tidak mengikuti kaidah-kaidah statistik yang baku, apalagi dengan waktu yang cukup panjang, sehingga hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Dan kedua, potensi nonrespon dari responden yang tidak dapat dipaksa untuk memberikan jawaban bagi petugas, sehingga hasil SPN tidak sesuai dengan yang diharapkan. Padahal sempat ada statement dari Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Fatimah Azzahra, bahwa sensus pajak melibatkan pemerintah daerah, Badan Pusat Statistik (BPS), serta aparat kepolisian (lihat disini).
Kedepan perlu menjadi pelajaran bagi
semua pihak bahwa melaksanakan kegiatan statistik itu tidak semudah yang
dibayangkan. Selain diperlukan adanya dasar pelaksanaan yang tepat, juga harus
sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterapkan. Dan satu hal yang banyak dilupakan,
sangat jarang masyarakat yang melaporkan hasil kegiatan statistik kepada BPS,
seperti yang terjadi pada Kasus Sensus Wilayah. Di Wilayah Kabupaten Karimun
(dan mungkin juga di wilayah lain) ditemukan adanya penempelan stiker Sensus
Wilayah pada tempat-tempat usaha milik warga. Dan sama sekali tidak ada
keterangan mengenai siapa penyelenggaranya. Jika sudah seperti ini, apabila
terjadi sesusatu yang tidak diinginkan dengan responden, maka masyarakat bisa
dipastikan akan menjadi antipati dengan BPS. Karena dari awal, penggunaan kata
Sensus sudah begitu melekat dengan BPS. Kalau
Sudah begini, lalu siapa yang mau bertanggungjawab?.